Generasi Selfie

Belakangan ini di linimasa media sosial saya berseliweran kabar tentang ‘March for Our Lives‘, gerakan yang mengkritisi gun culture di Amerika Serikat sebagai buntut dari maraknya penembakan massal yang kerap kali terjadi di sekolah-sekolah di sana. Gerakan ini baru-baru saja menggelar rally besar menuntut gun reform di Amerika Serikat, sembari mengecam gun lobby dan politisi-politisi yang tunduk dengan lobinya. Menariknya, berbeda dengan protes-protes politik lain yang belakangan ini yang seringkali menunjukkan wajah-wajah aktor muda (kisaran usia 20-30 tahun), gerakan ini didominasi oleh pelajar sekolah menengah berusia 13-17 tahun, bagian dari Generasi Y yang doyan selfie.

Saya gumun melihat ‘anak-anak kemarin sore’ sudah teriak-teriak bak Bung Tomo yang menyerukan jihad. Yang saya tangkap (dan asumsikan) generasi ini adalah generasi manja dan mencla-mencle yang kerjanya hanya selfie atau membanjiri media sosial dengan konten-konten yang semua-muanya tentang diri mereka sendiri. Saya terjebak dengan asumsi bodoh yang saya bangun sendiri, melihat mereka dari satu sisi saja: sebagai ‘anak kemarin sore’.

Faktanya, generasi selfie ini (setidaknya di Amerika Serikat) jadi motor penggerak  rally politik terbesar melawan gun lobby di Amerika Serikat. Generasi yang lahir, tumbuh dan besar bersama internet ini berhasil melibatkan jutaan generasi muda ke dalam diskusi politik yang anti status-quo melalui sentuhan jarinya. Hal yang bisa jadi mustahil untuk orang-orang tua, bahkan untuk generasi milenial.

Salut untuk ‘generasi selfie‘.

 

Cadar

Pekan lalu, sebagaimana rutin dilakukan saya diminta tolong untuk hadir dan membantu proses interview untuk calon relawan baru di Project Child. Saya sudah beberapa kali kesempatan tidak dapat hadir dalam kegiatan interview untuk calon relawan atau staf magang karena satu dan lain hal, jadi ini adalah salah satu wawancara pertama saya setelah beberapa bulan absen mewawancarai orang. Jujur, setelah lama tidak mewawancara orang, saya merasa tidak se-greget biasanya dalam wawancara ini, atau mungkin karena saya yang baru tidur empat jam malam sebelumnya. Entahlah.

– – –

Sebelum saya kembali lagi ke wawancara tempo hari, beberapa hari ini timeline media sosial saya diramaikan oleh berita tentang keputusan UIN Yogyakarta yang akan melakukan ‘pembinaan’ terhadap mereka yang menggunakan cadar/niqab. Saya agak heran karena saya kira wajar-wajar saja untuk mahasiswi di universitas Islam untuk dapat menggunakan cadar/niqab.

Saya jadi takjub karena universitas melarang mahasiswanya untuk menggunakan cadar/niqab karena pertama, UIN Yogyakarta adalah universitas Islam, maka wajar jika orang-orang di dalamnya punya interpretasi khusus tentang cara berpakaian menurut Islam. Kedua, karena lembaga akademik tidak seharusnya menjadi tempat menghakimi preferensi dan keyakinan seseorang, lembaga akademik seperti universitas semestinya bisa jadi tempat terbuka dimana setiap perbedaan bisa dihargai selama tidak mengganggu hak orang lain.

Ketiga, dan yang paling penting, setiap orang berhak menjalankan dan mengekspresikan keyakinannya. Mengutip pak Abdul Gaffar Karim, wajar jika kampus mengatur standar berpakaian seperti melarang penggunaan kaus dan sandal jepit, tapi penggunaan kaus dan sandal jepit bukanlah ekspresi keyakinan keagamaan. Jilbab, cadar/niqab, surban (untuk penganut agama Sikh), kalung salib, rosario, peci dan aksesoris keagamaan lainnya adalah bentuk ekspresi keagamaan yang untuk beberapa penganut agama menjadi bagian penting dari cara mereka menjalankan keyakinannya. Satu catatan penting di sini, kita tidak sedang menghormati cadar/niqab sebagai aksesori ekspresi keagamaan, tapi kita perlu menghormati hak dasar orang untuk menganut praktik keagamaan tertentu, terlepas dari apa yang kita yakini.

– – –

Kembali lagi ke wawancara kami tempo hari.

Suatu ketika di tengah wawancara, datanglah seorang perempuan menggunakan cadar/niqab. Ini hal baru untuk orang-orang di kantor kami. Walaupun lingkungan kerja kami sangat beragam dan terdiri dari orang-orang yang punya latar belakang berbedamulai dari sajadah sampai haram-jadah—dari dokter sampai pengangguran akut, ini kali pertama kami sebagai institusi menerima orang dengan cadar/niqab. Terlebih, sebagian dari kami cukup jauh atau tidak pernah punya pengalaman personal dengan orang yang memilih untuk bercadar/berniqab.

Jujur, waktu itu saya sempat gumun. Terlebih teman-teman meminta saya untuk mewawancarainya secara langsung.  Singkat cerita saya masih gumun saat wawancara, saya masih berfokus pada perbedaan atara dia dan saya, saya membuat border di kepala saya bahwa saya dan dia adalah orang yang berbeda. Hinga suatu saat saya menanyakan pertanyaan yang selalu saya tanyakan ketika wawancara: “ceritain tentang sahabat-sahabat kamu dong”. Dia mulai bercerita tentang sahabat-sahabatnya dengan mata berbinar-binar (hanya itu yang bisa saya lihat :p). Saat itu saya sadar, bahwa baru saat itu saya melihatnya sebagai manusia seperti saya. Lalu wawancara berjalan lancar, mengalir dan begitu menyenangkan.

Di satu bagian wawancara, saya bertanya padanya “kamu pernah mengalami diskriminasi karena keputusanmu memakai niqab nggak sih?. Berceritalah dia tentang tatapan aneh orang-orang ketika ia masuk ke tempat umum, pengalamannya dicibir oleh anggota keluarganya hingga kejadian waktu ia disebut dengan kata “ISIS” oleh orang random yang tidak mengenalnya. Ternyata di balik niqabnya, orang ini adalah orang yang berpikiran sangat terbuka, bahkan lebih terbuka daripada beberapa orang ‘yang mengaku liberal’ yang saya kenal.

– – –

Kembali lagi soal cadar/niqab dan menutup tulisan ini.

Seringkali kita terjebak dengan border yang kita buat sendiri. Kita terjebak dengan asumsi tentang orang lain akibat satu identitas yang bisa kita lihat dengan mata. Ketika kita melihat seseorang yang menenggak minuman keras, identitasnya tereduksi menjadi satu kata: pemabuk. Kita cenderung melihat orang dengan batasan tertentu, seringkali mereduksi identitasnya menjadi satu identitas. Terkadang kita lupa bahwa semua orang punya banyak identitas. Seorang Muslim bisa jadi menjadi seorang sosialis atau liberal, bisa jadi menjadi seorang konservatif, bisa jadi ia menyukai musik klasik dan gemar makan sate. Bisa jadi juga seorang Ateis mengidentifikasi diri sebagai seorang liberal konsevatif, menyukai dangdut dan sama-sama suka sate.

Sebelum saya berbicara dengan seseorang yang menggunakan cadar/niqab saya berangkat dengan asumsi-asumsi tertentu yang ada di kepala saya dan mereduksi identitas penggunanya menjadi identitas tertentu (yang negatif atau positif) seperti ‘konservatif’, ‘devout‘, ‘kaku’ atau ‘tidak toleran’. Saya lupa kalau dia punya identitas lain, seorang anak, seorang mahasiswa, saudara sebangsa dan identitas-identitas lainnya.

Kembali mengutip dari pak Gaffar:

Anda tak perlu menghormati cadarnya. Tapi hormati saja hak dasar setiap orang untuk memiliki keyakinan keagamaan tertentu — yang mungkin berbeda dari apa yang Anda yakini.

Yogyakarta, 8 Maret 2018

Mbah Biyung

Image may contain: one or more people and baby

Ini foto nenek saya bersama sepupu saya sekitar dua puluh tahun yang lalu di Kebumen, Jawa Tengah. Tiba-tiba lewat di fitur “On This Day” Facebook hari ini. Memanggil rasa rindu saya kepada nenek yang biasa kami panggil “Mbah Biyung”.

Sejak saya kecil, Mbah Biyung sering sekali datang ke rumah dan membantu ibu saya mengurus saya karena ibu saya melahirkan adik saya ketika saya berusia satu tahun. Ada banyak foto di rumah (hasil jepretan bapak) yang memperlihatkan beliau sedang menggendong saya dengan kain batik, terkadang menaruh kepala saya di antara ketiaknya supaya saya merasa hangat.

Mbah Biyung merupakan salah satu contoh manusia yang paling lembut yang pernah saya kenal. Saya masih ingat (walaupun tidak ingat persis) cerita beliau tentang Anak Gajah yang dituturkan dengan bahasa Jawa yang kerap beliau ceritakan sebelum saya tidur. Beliau biasanya tersenyum manis jika saya yang cerewet ini mulai bermonolog di depannya, sembari merespon dengan sabar. Sampai akhir hayatnya, saya tidak pernah mendengar beliau berkata kasar, mengkritisi orang atau mengeluarkan kebencian. Cara beliau menyampaikan nasihat pun sangat menyenangkan hati.

Beliau wafat ketika saya ada di bangku SMA. Beruntung kami sekeluarga sempat pergi ke Kebumen untuk menghabiskan hari-hari terakhir beliau. Di hari-hari terakhirnya, beliau tidak dapat melihat akibat penyakitnya. Beliau kerap kali meraba-raba wajah cucu-cucunya sambil memanggil-manggil nama kami “ini Abie ya? Masih sering jualan pensil ke teman-temannya?”. Beliau ingat hal-hal kecil dari kami.

Di malam terakhir beliau, saya ingat ketika saya tidur di rumah budhe saya, bapak membangunkan saya sekitar jam 2 malam dan memberitahukan saya bahwa Mbah Biyung telah berpulang. Saya ingat bersama mas Aris saya ditugaskan ikut membeli kain kafan untuk beliau, pakaian terakhirnya untuk menghadap Yang Mahakuasa. Esok harinya kami sekeluarga mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhirnya di pemakaman samping masjid dekat rumahnya.

Beliau adalah salah satu orang yang paling berpengaruh dalam masa kecil saya. Sekarang, mengingat beliau dalam perspektif orang dewasa, saya melihat beberapa hal luar biasa dari beliau sebagai seorang manusia dan seorang ibu yang perlu dipelajari dan ditiru. Tidak pernah sekalipun dari beliau saya mendengar atau bahkan mendapatkan kesan tentang kebencian. Sebagai ibu dari 13 anak, beliau punya begitu banyak kasih dan sayang yang tiada habisnya.

Beliau hidup sebagai manusia seutuhnya dan kembali kepada Yang Mahakuasa sebagai manusia yang paripurna. Mencintai dan dicintai oleh orang-orang di sekitarnya.

Alfatihah.

Kabar

 

WhatsApp Image 2018-02-08 at 19.51.11

Circa October 2017 – Pacitan, Jawa Timur

 

Sudah hampir setahun sejak saya terakhir menulis di blog ini. Blog ini nyaris tanpa kabar walaupun ada banyak hal terjadi dalam setahun terakhir *duh*.

Juggling di antara 3 pekerjaan dan peran sosial lainnya nampaknya bukan jalan hidup manusia normal. Sekarang saya jarang sekali punya waktu untuk duduk merenung, lebih-lebih untuk menulis. Jogja yang kalem dan santai jadi serba menuntut ini-itu. Bukan salah Jogjanya, tapi salah sayanya yang kelewat ‘serakah’ dengan ini-itu.

Semoga saya masih punya waktu untuk menulis lagi dalam waktu dekat.

Jogja. 8.2.18

Malam

Malam datang dan sebagian besar manusia pergi ke peraduan untuk beristirahat. Beberapa akan terbangun di pagi (atau siang) hari, dan beberapa lainnya tidak akan pernah membuka matanya lagi karena kembali kepada Tuhannya.

Sebagian baru saja meninggalkan rumah dan bersiap memulai harinya. Beberapa orang memilih hidup di malam hari karena mereka tak punya pilihan lainnya. Sebagian lainnya, yang cukup beruntung (atau sial, kita tidak pernah tahu) memilih untuk hidup di malam hari karena benci dengan kegaduhan siang hari yang penuh dengan perebutan ini-itu dari dunia. Mereka yang mencintai malam paham betul bahwa di malam hari, cinta menjadi lebih semerbak. Dari cinta seorang ibu yang bersiap menidurkan anaknya hingga cinta dua orang pezina di hotel murahan di seberang terminal.

Sayangnya, seringkali dunia tidak berpihak kepada orang-orang malam. Namun, orang malam tidak pernah ambil pusing karena malam telah menjadi dunia baru untuk mereka. Dunia yang tenang, nyaris tanpa ekspektasi.