Pekan lalu, sebagaimana rutin dilakukan saya diminta tolong untuk hadir dan membantu proses interview untuk calon relawan baru di Project Child. Saya sudah beberapa kali kesempatan tidak dapat hadir dalam kegiatan interview untuk calon relawan atau staf magang karena satu dan lain hal, jadi ini adalah salah satu wawancara pertama saya setelah beberapa bulan absen mewawancarai orang. Jujur, setelah lama tidak mewawancara orang, saya merasa tidak se-greget biasanya dalam wawancara ini, atau mungkin karena saya yang baru tidur empat jam malam sebelumnya. Entahlah.
– – –
Sebelum saya kembali lagi ke wawancara tempo hari, beberapa hari ini timeline media sosial saya diramaikan oleh berita tentang keputusan UIN Yogyakarta yang akan melakukan ‘pembinaan’ terhadap mereka yang menggunakan cadar/niqab. Saya agak heran karena saya kira wajar-wajar saja untuk mahasiswi di universitas Islam untuk dapat menggunakan cadar/niqab.
Saya jadi takjub karena universitas melarang mahasiswanya untuk menggunakan cadar/niqab karena pertama, UIN Yogyakarta adalah universitas Islam, maka wajar jika orang-orang di dalamnya punya interpretasi khusus tentang cara berpakaian menurut Islam. Kedua, karena lembaga akademik tidak seharusnya menjadi tempat menghakimi preferensi dan keyakinan seseorang, lembaga akademik seperti universitas semestinya bisa jadi tempat terbuka dimana setiap perbedaan bisa dihargai selama tidak mengganggu hak orang lain.
Ketiga, dan yang paling penting, setiap orang berhak menjalankan dan mengekspresikan keyakinannya. Mengutip pak Abdul Gaffar Karim, wajar jika kampus mengatur standar berpakaian seperti melarang penggunaan kaus dan sandal jepit, tapi penggunaan kaus dan sandal jepit bukanlah ekspresi keyakinan keagamaan. Jilbab, cadar/niqab, surban (untuk penganut agama Sikh), kalung salib, rosario, peci dan aksesoris keagamaan lainnya adalah bentuk ekspresi keagamaan yang untuk beberapa penganut agama menjadi bagian penting dari cara mereka menjalankan keyakinannya. Satu catatan penting di sini, kita tidak sedang menghormati cadar/niqab sebagai aksesori ekspresi keagamaan, tapi kita perlu menghormati hak dasar orang untuk menganut praktik keagamaan tertentu, terlepas dari apa yang kita yakini.
– – –
Kembali lagi ke wawancara kami tempo hari.
Suatu ketika di tengah wawancara, datanglah seorang perempuan menggunakan cadar/niqab. Ini hal baru untuk orang-orang di kantor kami. Walaupun lingkungan kerja kami sangat beragam dan terdiri dari orang-orang yang punya latar belakang berbeda—mulai dari sajadah sampai haram-jadah—dari dokter sampai pengangguran akut, ini kali pertama kami sebagai institusi menerima orang dengan cadar/niqab. Terlebih, sebagian dari kami cukup jauh atau tidak pernah punya pengalaman personal dengan orang yang memilih untuk bercadar/berniqab.
Jujur, waktu itu saya sempat gumun. Terlebih teman-teman meminta saya untuk mewawancarainya secara langsung. Singkat cerita saya masih gumun saat wawancara, saya masih berfokus pada perbedaan atara dia dan saya, saya membuat border di kepala saya bahwa saya dan dia adalah orang yang berbeda. Hinga suatu saat saya menanyakan pertanyaan yang selalu saya tanyakan ketika wawancara: “ceritain tentang sahabat-sahabat kamu dong”. Dia mulai bercerita tentang sahabat-sahabatnya dengan mata berbinar-binar (hanya itu yang bisa saya lihat :p). Saat itu saya sadar, bahwa baru saat itu saya melihatnya sebagai manusia seperti saya. Lalu wawancara berjalan lancar, mengalir dan begitu menyenangkan.
Di satu bagian wawancara, saya bertanya padanya “kamu pernah mengalami diskriminasi karena keputusanmu memakai niqab nggak sih?“. Berceritalah dia tentang tatapan aneh orang-orang ketika ia masuk ke tempat umum, pengalamannya dicibir oleh anggota keluarganya hingga kejadian waktu ia disebut dengan kata “ISIS” oleh orang random yang tidak mengenalnya. Ternyata di balik niqabnya, orang ini adalah orang yang berpikiran sangat terbuka, bahkan lebih terbuka daripada beberapa orang ‘yang mengaku liberal’ yang saya kenal.
– – –
Kembali lagi soal cadar/niqab dan menutup tulisan ini.
Seringkali kita terjebak dengan border yang kita buat sendiri. Kita terjebak dengan asumsi tentang orang lain akibat satu identitas yang bisa kita lihat dengan mata. Ketika kita melihat seseorang yang menenggak minuman keras, identitasnya tereduksi menjadi satu kata: pemabuk. Kita cenderung melihat orang dengan batasan tertentu, seringkali mereduksi identitasnya menjadi satu identitas. Terkadang kita lupa bahwa semua orang punya banyak identitas. Seorang Muslim bisa jadi menjadi seorang sosialis atau liberal, bisa jadi menjadi seorang konservatif, bisa jadi ia menyukai musik klasik dan gemar makan sate. Bisa jadi juga seorang Ateis mengidentifikasi diri sebagai seorang liberal konsevatif, menyukai dangdut dan sama-sama suka sate.
Sebelum saya berbicara dengan seseorang yang menggunakan cadar/niqab saya berangkat dengan asumsi-asumsi tertentu yang ada di kepala saya dan mereduksi identitas penggunanya menjadi identitas tertentu (yang negatif atau positif) seperti ‘konservatif’, ‘devout‘, ‘kaku’ atau ‘tidak toleran’. Saya lupa kalau dia punya identitas lain, seorang anak, seorang mahasiswa, saudara sebangsa dan identitas-identitas lainnya.
Kembali mengutip dari pak Gaffar:
Anda tak perlu menghormati cadarnya. Tapi hormati saja hak dasar setiap orang untuk memiliki keyakinan keagamaan tertentu — yang mungkin berbeda dari apa yang Anda yakini.
Yogyakarta, 8 Maret 2018